Uang mengalir

kerja di internet

Kamis, 10 Mei 2012

The History of call

THE HISTORY OF CALL

Computers have been used for language teaching ever since the 1960s. According to Warschauer & Healey (1998), this 40-year period can be divided into three main stages: behaviourist CALL, communicative CALL, and integrative CALL. Each stage corresponds to a certain level of technology and certain pedagogical theories.

Behaviourist CALL

In the 1960s and 1970s the first form of computer-assisted Language Learning featured repetitive language drills, the so-called drill-and-practice method. It was based on the behaviourist learning model and as such the computer was viewed as little more than a mechanical tutor that never grew tired. Behaviourist CALL was first designed and implemented in the era of the mainframe and the best-known tutorial system, PLATO, ran on its own special hardware. It was mainly used for extensive drills, explicit grammar instruction, and translation tests (Ahmad, et al., 1985).

Communicative CALL

Communicative CALL emerged in the 1970s and 1980s as a reaction to the Behaviourist approach to language learning. Proponents of communicative CALL rejected Behaviourist approaches at both the theoretical and pedagogical level. They stressed that CALL should focus more on using forms rather than on the forms themselves. Grammar should be taught implicitly and students should be encouraged to generate original utterances instead of manipulating prefabricated forms (Jones & Fortescue, 1987; Philips, 1987). This form of computer-based instruction corresponded to cognitive theories which recognized that learning was a creative process of discovery, expression, and development. The mainframe was replaced by personal computers that allowed greater possibilities for individual work. Popular CALL software in this era included text reconstruction programmers and simulations.

Integrative CALL

The most recent stage of Computer-Assisted Language Learning is integrative CALL. Communicative CALL was criticized for using the computer in an ad hoc and disconnected fashion and using the computer made 'a greater contribution to marginal rather than central elements' of language learning (Kenning & Kenning, 1990: 90). Teachers have moved away from a cognitive view of communicative language teaching to a socio-cognitive view that emphasizes real language use in a meaningful, authentic context. Integrative CALL seeks both to integrate the various skills of language learning (listening, speaking, writing, and reading) and to integrate technology more fully into language teaching (Warschauer & Healey, 1998). To this end the multimedia-networked computer provides a range of informational, communicative, and publishing tools that are potentially available to every student.

Sukses di Tahun Naga Air

Naga Air merupakan simbol di tahun ini. Tak sedikit mereka yang mengaitkan simbol naga air dengan jalan kesuksesan hidup. Untuk membedah hal itu, Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia (MAGABUDHI) menggelar seminar yang menghadirkan Bhikkhu Utomo Mahathera dan artis Trie Utami, di Sanur, Bali, Minggu 12 Februari 2012.

Dalam paparannya, Bhikkhu Utomo mengatakan memulainya dari definisi kata sukses. Menurutnya, definisi sukses merupakan keberanian untuk terus mencoba dan keberanian untuk bangkit dari kegagalan. “Ambil contoh ketika pangeran Sidharta gagal, dia tak putus asa, terus bangkit dan mencoba lagi,” katanya.

Kesuksesan merupakan satu proses hidup yang harus dijalani. Tentu saja siapa pun bisa meraih kesuksesan, termasuk kita semua. Hanya saja, yang berkembang di masyarakat luas kesuksesan selalu diukur dengan keberhasilan secara material. “Tapi bagaimana kesuksesan secara dharma? Tak banyak orang yang memperbicangkannya dan menjadikan ia sebagai tolok ukur sebuah kesuksesan,” kata Bhikkhu Utomo.

Tak sukses di mata orang, belum tentu kegagalan bagi yang menjalani. Sebaliknya, bisa saja yang dianggap gagal bagi hampir kebanyakan orang dimaknai sebagai kesuksesan bagi sebagian orang. “Misalnya kita menaruh garam di satu gelas. Kita tak dapat mengurangi jumlah garam yang ada. Yang kita bisa adalah mengurangi rasa asin akibat garam. Itu bisa dilakukan dengan menambah air pada gelas yang terisi garam,” ujarnya.

Untuk itu, jika mengalami jalan buntu yang bernama kegagalan, maka kita harus berpikir menghentikan kegagalan itu dengan cara melakukan kebaikan. Kuncinya adalah dengan berbuat baik, berpikir positif dan tak mengabaikan keyakinan agama yang dipercayainya.

“Berpikir positif itu sarana untuk meretas jalan kesuksesan. Tentu tak lupa tetap memerhatikan jalan spiritual dengan berbuat kebaikan,” ujarnya.

Hal lain yang mesti dijadikan pedoman adalah fokus pada tujuan. Dengan begitu, penempaan mental akan terus terjaga. “Artinya, semangat untuk terus mencapai tujuan itu tetap harus ada,” saran dia.

Sementara Trie Utami menandaskan hal yang hampir senada. Ia mengajak untuk meyakini terlebih dahulu energi positif yang dimiliki setiap manusia. “Yakin tidak kita dengan energi positif yang kita miliki? Kalau kita yakin, maka kita dapat mengelola energi itu untuk mengantarkan kita kepada jalan kesuksesan,” ucap perempuan yang akrab disapa Mbak I'i ini.

Hal yang perlu dicamkan, jika waktu tak pernah bisa diajak kompromi untuk menunggu. “Berpikir positif itu begitu hebat. Apa yang ada dalam pikiran kita bisa terwujud. Jika frekuensi dan putarannya tepat, maka kita bisa melahirkan energi positif itu,” terang dia. (sumber Vivanews.com)